Mengganti Belief System Lama dengan Belief System Baru












Oleh Ade Asep Syarifuddin

SUATU hari sahabat saya datang dan mengadukan segala unek-uneknya. Dia bilang bisnis yang selama ini digeluti sama sekali tidak mendapatkan feedback yang setimpal alias rugi terus menerus. Padahal modal sudah keluar banyak, pelatihan entrepreneur berkali-kali diikuti, kerja keras siang malam tanpa henti, pantang menyerah ketika menghadapi persoalan yang ada. Namun kian lama kian tidak karu-karuan. Sampai-sampai dirinya tidak yakin lagi kalau bisa melanjutkan bisnisnya sekarang.

Saya melontarkan satu pertanyaan kepada dia. Apakah Anda yakin bahwa bisnis yang sekarang itu adalah pilihan hidup? Atas pertanyaan ini dia tidak memberian jawaban secara pasti. Dia hanya mengatakan, bisnis tersebut adalah bisnis yang diberikan oleh orang tuanya secara turun menurun. Dari dulu orang tuanya sudah menjalankan bisnis tersebut. Kakeknya sudah wanti-wanti kepada anak-anaknya agar bisa melanjutkan bisnis tersebut.

Kemudian saya melontarkan pertanyaan kedua. Kalau begitu Anda tidak sepenuh hati dong menjalankan bisnis ini? Ya. Saya tidak enak kepada orang tua yang sudah memberikan amanat agar melanjutkan bisnis ini. Saya sebetulnya lebih tertarik menggeluti bisnis lain yang lebih banyak berhubungan dengan orang banyak. Bisnis ini kan hanya duduk di depan meja, di depan komputer. Sementara minat saya adalah berhubungan dengan sebanyak-banyaknya orang di mana pun. Saya hanya takut kuwalat oleh orang tuanya kalau tidak melanjutkan bisnis tersebut. Tapi untuk berbicara dan terus terang kepada orang tunya pun tidak memiliki keberanian yang cukup.

Lain lagi dengan sahabat saya yang kedua. Dia tidak pernah bekerja lebih dari enam bulan. Setelah enam bulan pasti dia keluar dan ketika keluar dia meninggalkan persoalan dengan bosnya. Saya perhatikan tidak tidak kurang dari mantan lima perusahaan tempatnya bekerja. Curiculum vitaenya lumayan banyak, tapi sama sekali tidak mempengaruhi kredibilitas dia di tempat kerja yang lain bekerja. Pindah-pindah bekerja memang tidak salah, tapi kalau lebih dari 5 tempat patut kita pertanyakan. Sebenarnya persoalannya ada pada tempat kerjanya atau ada dalam dirinya.

Saya bisa mengambil kesimpulan pada sahabat saya yang kedua, dia memiliki karakter tidak mau diatur bahkan oleh pimpinannya sekalipun. Di tempat kerja manapun kita harus taat pada pimpinan atau lebih tepatnya taat kepada aturan main yang ada. Kalau tidak taat, ya siapapun harus menghadapi konsekuensi. Kalau ingin bebas harus berbisnis dengan modal sendiri. Jika masih bergantung kepada orang lain maaf maaf saja, harus ikut aturan main yang ada.

Kedua contoh kasus di atas seringkali dihadapi oleh siapapun. Antara realita dengan harapan sama sekali tidak nyambung. Tapi tidak semua orang berhasil menemukan akar persoalan sebenarnya. Bahkan tidak jarang yang malahan menyalahkan orang lain atas kerugian yang menimpa dirinya. Padahal persoalannya terletak pada dirinya sendiri, bukan orang lain.

Sahabat saya yang pertama sebagai contoh kasus, dia memiliki minat bekerja yang banyak berhubungan dengan orang lain. Jenis pekerjaan tersebut bisa marketing, selles, wartawan atau Publis Relation (PR). Kalau disuruh untuk duduk di depan komputer sudah jelas ada konflik antara passion (gairah atau keinginan) dengan realitas. Karena hidup ini tidak hanya untuk mendapatkan uang, tapi harus ada juga kepuasan di dalam bekerja. Kalau keyakinannya dia akan bahagia kalau sering bertemu dengan orang banyak maka jangan salahkan siap-siapa kalau dia tidak berhasil dengan cara bekerja duduk di depan meja.

Langkah yang paling pas buat sahabat yang pertama adalah, dia pindah bekerja ke tempat yang lebih cocok, atau dia mengubah sudut pandang bahwa bekerja di depan komputer itu tidak selamanya membosankan. Kalau bisa mengubah belief system satu di antara dua pilihan tadi, maka dia akan terbebas dari akibat-akibat yang tidak diinginkan, seperti kegagalan terus menerus. Tapi kalau terus berada dalam kondisi 'pecah' pikiran dan tidak mau memilih salah satu, atau mengubah sudut pandang, maka tidak heran kalau bisnisnya juga merugi.

Sebagai contoh lain, banyak di antara kita yang memiliki keyakinan tidak menguntungkan, seperti Alon-alon asal kelakon, uang adalah sumber kejahatan, bekerja keras itu bisa mengakibatkan badan sakit, berbeda pendapat itu bermusuhan, bersedekah itu bisa mengurangi harta, berkompetisi itu bisa menyakiti hati orang lain dll. Coba kita ubah keyakinan-keyakinan lama tadi dengan keyakinan baru.

Alon-alon asal kelakon diganti dengan, bekerja itu harus cepat, tepat, cermat, benar dan profesional. Uang adalah sumber kejahatan diganti dengan uang adalah sumber keberkahan. Karena dengan uang kita bisa berderma, menolong orang yang membutuhkan. Sementara kayakinan bahwa bekerja keras bisa sakit harus diganti dengan bekerja keras itu bisa membawa kebahagiaan dan mempercepat tujuan hidup ini. Keyakinan lain bahwa bersedekah bisa mengurangi harta harus diganti dengan bersedekah bisa mendapatkan keuntungan ribuan kali lipat. Untuk berkompetisi bisa menyakiti hati orang lain diganti dengan berkompetisi bisa membuat semangat setiap orang menjadi sangat tinggi.

Kalau keyakinan lama lambat laun diubah dengan keyakinan baru yang lebih memberdayakan, maka hasilnya pun akan jauh lebih positif. Namun persoalannya, tidak semua keyakinan yang kita miliki bisa dideteksi oleh pikiran sadar kita. Dengan kata lain banyak orang yang tidak sadar bahwa segala penyebab kegagalan yang dialami bersumber dari keyakinan yang dia miliki.

Mudah-mudahan keyakinan-keyakinan yang kita miliki bisa mendukung tujuan-tujuan hidup kita.

*) Penulis adalah GM Radar Pekalongan. Bisa dihubungi di asepradar@gmail.com.
Share on Google Plus

About Manusia Pembelajar

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.

1 komentar :