Menulis Seperti Berenang


















SEORANG teman bertanya, bagaimana sih untuk memulai menulis? Rasanya kok sulit ya. Dulu ketika masih jaman mesin ketik, separo rim kertas habis disobek-sobek. Sekarang jaman komputer, tidak menyobek kertas tapi tidak satu file pun yang jadi di-saving. Rasanya tulisan yang kita buat masih sangat terlalu jelek untuk dibaca orang lain.

Kasus yang dialami teman saya pasti terjadi pula pada Anda atau siapapun yang menjadi penulis pemula. Persoalan paling mendasar disebabkan karena ketidakpercayaan kepada diri sendiri bahwa tulisan yang kita buat sudah cukup bagus. Lantaran tidak bagus maka malu kalau orang lain membaca. Daripada malu lebih baik dibatalkan, disobek, tidak disimpan dalam bentuk file. Langkah tersebut secara bawah sadar terasa menyelamatkan harga diri dan wibawa kita sendiri. Tapi proses keterampilan menulis tidak tercapai.

Ini kan aneh, mau belajar menulis tapi takut kalau tulisan kita jelek. Dan lucunya ketika tulisan jelek malu dibaca orang. Apakah kita lupa dulu ketika belajar berjalan sering terjatuh kemudian menangis? Apakah kita malu saat itu. Tidak kan? Buktinya kita bangun lagi dan bangun lagi walaupun dengkul kita berlumuran darah dan tambal-tambalan kapas dan obat merah.


Waktu kita belajar sepeda terus terjatuh, apakah kita juga malu? Ternyata tidak, malahan diulang kembali dan diulangi kembali. Sampai pada suatu ketika setimbangan mulai stabil, jalanlah sepeda roda dua tersebut. Lupa deh kepada dengkul yang luka-luka. Semuanya lunas terbayar ketika kita bisa menaiki sepeda tadi.

Atau masih ingatkah waktu kecil kita belajar berenang? Saya sendiri belajar berenang di sungai. Awalnya hanya nyemplung dan berdiam diri di pinggir sambil melihat teman-teman yang sudah mahir. Lucunya ada juga teman yang umurnya jauh lebih rendah dari saya tapi sudah lancar berenang dan masuk ke dalam air, kemudian menyembul lagi dan masuk lagi. Persis seperti lumba-lumba. Saya sangat kagum pada dia, tapi saya belum bisa menirunya.

Saya pergi ke sungai setiap hari. Hari pertama hanya diam sambil memperhatikan teman-teman, hari kedua bergeser satu meter dari tempat awal, hari ketiga geser 2-3 meter tapi masih di tepi. Hari keempat geser satu meter tanpa berpegangan ke tepi. Hari kelima berpegangan ke tepi sambil menghentak-hentakkan kaki, hari keenam berjalan agak ke tengah dikit kemudian meluncur ke pinggir tapi belum bisa menggerakkan kaki. Sampai suatu saat saya diseret ke tengah oleh teman-teman, kaki dan tangan saya bergerak-gerak dan tenggelam meminum air cukup banyak. Untungnya teman-teman saya menolong walaupun mereka mentertawakan.

Sebulan setelah kejadian yang sangat mengerikan tersebut akhirnya saya tidak ada lagi persoalan dengan berenang. Semuanya lancar-lancar saja dan dari itulah sebenarnya saya baru sadar bahwa kalau ingin berenang jangan terlalu banyak teori dan diskusi tentang berenang, tapi harus langsung menceburkan diri ke dalam air. Demikian halnya dengan menulis, kalau ingin menulis maka angsung saja menulis.

Mulai Menulis
Ketika kita mau mulai menulis, jangan terlalu banyak berpikir apakah tulisan kita baik atau jelek. Bahkan kita harus siap untuk menjadi penulis terjelek sedunia. Mengapa? Ya apapun hasilnya harus diterima dan ingat jangan pernah disobek atau dibuang hasil karya pertama kita, sejelek apapun. Dalam latihan berikutnya, pasti tulisan kita sudah jauh lebih baik dan pada tulisan yang kesekian kalinya bisa dipastikan tulisan kita sudah sangat enak untuk dibaca, minimal untuk diri kita sendiri.

Kemudian jenis tulisan apa yang bisa kita buat, apakah tulisan fiksi atau non-fiksi. Ini pun tidak bisa kita paksakan dan salah satunya tidak lebih baik dari yang lain. Artinya non fiksi tidak lebih baik dari fiksi, sebaliknya fiksi tidak lebih baik dari non fiksi. Semuanya memiliki kelebihan. Tapi yang paling penting, kita menulis dari hati. Artinya, apa yang kita tulis itulah yang benar-benar kita pahami. Jangan sampai juga tulisan-tulisan kita terlalu banyak mengutip tulisan orang lain supaya terkesan ilmiah.

Jenis tulisan memang berbeda-beda. Tapi sebelum melangkah ke arah sana akan lebih baik kalau kita mulai saja menulis, persis seperti kita menulis di diary. Tanpa beban kita coretkan kata demi kata pada diary kita. Kemudian untuk meningkatkan kualitas diri, kita mencoba untuk membaca hasil karya orang lain. Suatu ketika dipastikan kita menemukan pola menulis dengan gaya kita sendiri. Dan perlu diingat bahwa setiap jenis tulisan dan gayanya memiliki pangsa pembaca sendiri-sendiri. Tidak usah khawatir walaupun sudah banyak penulis, jumlah pembaca jauh lebih banyak. Bahkan negara kita masih membutuhkan banyak penulis-penulis agar negara kita ada akselerasi dalam cara berpikir.

Saya sendiri memiliki perjalanan menulis yang sangat variatif. Dulu di awal-awal menulis saya merasa bangga ketika banyak mengutip catatan dari buku. Bahkan menyisipi kata-kata asing yang belum dikenal, padahal saya sendiri tidak paham-paham banget maknanya. Setelah dibaca ulang hasil karya saya tersebut ternyata substansi menulisnya sendiri tidak ada, terlalu banyak istilah asing yang malah mempersulit pemahaman. Padahal salah satu misi tulisan adalah gampang dibaca dan pesan yang disampaikan dipahami.

Sekarang saya malahan lebih suka menulis dengan gaya tutur. Ada cerita pengalaman sendiri, ditambah pengalaman orang dan sedikit teori. Tulisan yang menginspirasi dan menggerakkan pembacanya agar menjadi lebih baik jauh lebih penting darpada sekadar menulis dengan istilah yang keren-keren. Tulisan lebih hidup dan pembaca sendiri tidak perlu mengernyitkan dahi ketika membacanya. Ingat, kalau Anda penulis pemula dan mau mulai menulis, langsung saja menulis apapun hasilnya, persis seperti kita ingin berenang, langsung saja menceburkan diri ke air. Sukses selalu. (

Menulis Seperti Berenang


















Oleh Ade Asep Syarifuddin

SEORANG teman bertanya, bagaimana sih untuk memulai menulis? Rasanya kok sulit ya. Dulu ketika masih jaman mesin ketik, separo rim kertas habis disobek-sobek. Sekarang jaman komputer, tidak menyobek kertas tapi tidak satu file pun yang jadi di-saving. Rasanya tulisan yang kita buat masih sangat terlalu jelek untuk dibaca orang lain.

Kasus yang dialami teman saya pasti terjadi pula pada Anda atau siapapun yang menjadi penulis pemula. Persoalan paling mendasar disebabkan karena ketidakpercayaan kepada diri sendiri bahwa tulisan yang kita buat sudah cukup bagus. Lantaran tidak bagus maka malu kalau orang lain membaca. Daripada malu lebih baik dibatalkan, disobek, tidak disimpan dalam bentuk file. Langkah tersebut secara bawah sadar terasa menyelamatkan harga diri dan wibawa kita sendiri. Tapi proses keterampilan menulis tidak tercapai.

Ini kan aneh, mau belajar menulis tapi takut kalau tulisan kita jelek. Dan lucunya ketika tulisan jelek malu dibaca orang. Apakah kita lupa dulu ketika belajar berjalan sering terjatuh kemudian menangis? Apakah kita malu saat itu. Tidak kan? Buktinya kita bangun lagi dan bangun lagi walaupun dengkul kita berlumuran darah dan tambal-tambalan kapas dan obat merah.


Waktu kita belajar sepeda terus terjatuh, apakah kita juga malu? Ternyata tidak, malahan diulang kembali dan diulangi kembali. Sampai pada suatu ketika setimbangan mulai stabil, jalanlah sepeda roda dua tersebut. Lupa deh kepada dengkul yang luka-luka. Semuanya lunas terbayar ketika kita bisa menaiki sepeda tadi.

Atau masih ingatkah waktu kecil kita belajar berenang? Saya sendiri belajar berenang di sungai. Awalnya hanya nyemplung dan berdiam diri di pinggir sambil melihat teman-teman yang sudah mahir. Lucunya ada juga teman yang umurnya jauh lebih rendah dari saya tapi sudah lancar berenang dan masuk ke dalam air, kemudian menyembul lagi dan masuk lagi. Persis seperti lumba-lumba. Saya sangat kagum pada dia, tapi saya belum bisa menirunya.

Saya pergi ke sungai setiap hari. Hari pertama hanya diam sambil memperhatikan teman-teman, hari kedua bergeser satu meter dari tempat awal, hari ketiga geser 2-3 meter tapi masih di tepi. Hari keempat geser satu meter tanpa berpegangan ke tepi. Hari kelima berpegangan ke tepi sambil menghentak-hentakkan kaki, hari keenam berjalan agak ke tengah dikit kemudian meluncur ke pinggir tapi belum bisa menggerakkan kaki. Sampai suatu saat saya diseret ke tengah oleh teman-teman, kaki dan tangan saya bergerak-gerak dan tenggelam meminum air cukup banyak. Untungnya teman-teman saya menolong walaupun mereka mentertawakan.

Sebulan setelah kejadian yang sangat mengerikan tersebut akhirnya saya tidak ada lagi persoalan dengan berenang. Semuanya lancar-lancar saja dan dari itulah sebenarnya saya baru sadar bahwa kalau ingin berenang jangan terlalu banyak teori dan diskusi tentang berenang, tapi harus langsung menceburkan diri ke dalam air. Demikian halnya dengan menulis, kalau ingin menulis maka angsung saja menulis.

Mulai Menulis
Ketika kita mau mulai menulis, jangan terlalu banyak berpikir apakah tulisan kita baik atau jelek. Bahkan kita harus siap untuk menjadi penulis terjelek sedunia. Mengapa? Ya apapun hasilnya harus diterima dan ingat jangan pernah disobek atau dibuang hasil karya pertama kita, sejelek apapun. Dalam latihan berikutnya, pasti tulisan kita sudah jauh lebih baik dan pada tulisan yang kesekian kalinya bisa dipastikan tulisan kita sudah sangat enak untuk dibaca, minimal untuk diri kita sendiri.

Kemudian jenis tulisan apa yang bisa kita buat, apakah tulisan fiksi atau non-fiksi. Ini pun tidak bisa kita paksakan dan salah satunya tidak lebih baik dari yang lain. Artinya non fiksi tidak lebih baik dari fiksi, sebaliknya fiksi tidak lebih baik dari non fiksi. Semuanya memiliki kelebihan. Tapi yang paling penting, kita menulis dari hati. Artinya, apa yang kita tulis itulah yang benar-benar kita pahami. Jangan sampai juga tulisan-tulisan kita terlalu banyak mengutip tulisan orang lain supaya terkesan ilmiah.

Jenis tulisan memang berbeda-beda. Tapi sebelum melangkah ke arah sana akan lebih baik kalau kita mulai saja menulis, persis seperti kita menulis di diary. Tanpa beban kita coretkan kata demi kata pada diary kita. Kemudian untuk meningkatkan kualitas diri, kita mencoba untuk membaca hasil karya orang lain. Suatu ketika dipastikan kita menemukan pola menulis dengan gaya kita sendiri. Dan perlu diingat bahwa setiap jenis tulisan dan gayanya memiliki pangsa pembaca sendiri-sendiri. Tidak usah khawatir walaupun sudah banyak penulis, jumlah pembaca jauh lebih banyak. Bahkan negara kita masih membutuhkan banyak penulis-penulis agar negara kita ada akselerasi dalam cara berpikir.

Saya sendiri memiliki perjalanan menulis yang sangat variatif. Dulu di awal-awal menulis saya merasa bangga ketika banyak mengutip catatan dari buku. Bahkan menyisipi kata-kata asing yang belum dikenal, padahal saya sendiri tidak paham-paham banget maknanya. Setelah dibaca ulang hasil karya saya tersebut ternyata substansi menulisnya sendiri tidak ada, terlalu banyak istilah asing yang malah mempersulit pemahaman. Padahal salah satu misi tulisan adalah gampang dibaca dan pesan yang disampaikan dipahami.

Sekarang saya malahan lebih suka menulis dengan gaya tutur. Ada cerita pengalaman sendiri, ditambah pengalaman orang dan sedikit teori. Tulisan yang menginspirasi dan menggerakkan pembacanya agar menjadi lebih baik jauh lebih penting darpada sekadar menulis dengan istilah yang keren-keren. Tulisan lebih hidup dan pembaca sendiri tidak perlu mengernyitkan dahi ketika membacanya. Ingat, kalau Anda penulis pemula dan mau mulai menulis, langsung saja menulis apapun hasilnya, persis seperti kita ingin berenang, langsung saja menceburkan diri ke air. Sukses selalu. (ade asep syarifuddin)

*) Penulis Pemimpin Redaksi Harian Radar Pekalongan
Share on Google Plus

About Manusia Pembelajar

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.

0 komentar :

Post a Comment