Menulislah Maka Engkau Menjadi Bahagia

SEORANG teman datang berseri-seri. Dia memperlihatkan hasil tulisannya. Sebenarnya dia penulis pemula, tapi dia memiliki passion yang sangat tinggi. Saya pernah bilang ke dia kalau emang mau menulis kita harus menjadi penulis terjelek sedunia. Di hanya tersenyum tidak mempedulikan kata-kata saya.

Saya mengatakan hal itu bukan semata-mata mau menjatuhkan semangatnya. Tapi ada maksud-maksud tertentu yang terselubung. Ketika sudah siap menjadi penulis terjelek sedunia maka dia tidak akan lagi berpikir tulisannya bagus atau tidak. Yang penting terus menerus berkarya tanpa mempedulikan hasil. Apa ini berarti kualitas diabaikan?

Tidak... tidak sama sekali. Untuk para pemula yang penting itu memulai dan terus berkarya. Kalau baru belajar menulis lantas sudah dievaluasi baik atau jelek, jangan-jangan tidak siap dengan kritikan dan ketika dibilang jelek lantas berhenti menulis. Yang penting mau memulai dan terus menerus berkarya. Pada waktu tertentu ketika dia mulai pede, evaluasi itu menjadi sesuatu yang diperlukan. Bila orang lain tidak mengevaluasi, dirinya pasti akan meminta untuk dievaluasi.

Lantas apa hubungannya menulis dengan kebahagiaan? Apakah ada kaitan langsung atau tidak? Saya mengibaratkan ide itu ibarat darah dan gagasan yang ditulis itu ibarat aliran darah. Seseorang yang sehat pasti aliran darahnya lancar, bebas sumbatan baik sumbatan kolesterol maupun sumbatan akibat pengaruh lainnya.

Apakah yang tidak bisa menulis lantas tidak bisa bahagia? Tidak... tidak.. jelas tidak demikian. Ini hanya salah satu cara untuk membuat kita bahagia. Sebenarnya inti tulisan ini terletak pada, barangsiapa yang bisa mengatur sirkulasi gagasan, ide, persoalan di dalam dirinya dikeluarkan dengan cara yang tepat, maka dia akan bahagia. Jadi tidak dengan menulis pun kita bisa juga bahagia.

Misalnya, lewat curhat kepada seseorang sampai hati kita merasa plong, lewat teriakan di tebing antar gunung hati kita juga bisa jadi plong. Termasuk lewat menulis, kita bisa menjadi bahagia karena gagasan yang ada di kepala sudah dipindahkan ke dalam tulisan. Dengan kata lain, energi di dalam kepala atau unek-unek di dalam hati sudah dipindahkan ke dalam tulisan. Tapi lagi-lagi yang perlu dicatat ini bukan satu-satunya cara mendapatkan kebahagiaan. Masih banyak cara untuk memperoleh kebahagiaan.

Kembali kepada sirkulasi darah di dalam tubuh. Bagiamana kalau sehari saja darah berhenti mengalir di dalam tubuh? Wah...wah... wah... bisa bahaya bagi tubuh. Pertanyaan berikutnya, bagaimana kalau ide dan gagasan macet di dalam pikiran kita sendiri. Tidak ada yang mendengarkan, tidak ada yang mengakomodir juga tidak ada yang memperhatikan. Coba saja sendiri, kita tidak ada yang memperhatikan ide dan gagasan kita? Bisa-bisa semaput.

Saya merekomendasikan menulis (walaupun hanya menulis di diary) karena dengan menulis kita tidak lagi membutuhkan orang lain pada saat itu juga kalau hanya untuk membuat sirkulasi ide supaya mengalir. Menulis kan bisa kapan saja dan di mana saja. Tidak usah menunggu orang berkumpul atau menunggu orang datang beramai-ramai.Coba saja lihat orang-orang yang biasa menulis, lantas berhenti menulis. Apa yang bakal terjadi pada orang tersebut? Bisa-bisa malah pusing yang muncul. Teman saya yang seorang penulis pernah menuturkan bahwa ketika selesai menulis dia merasa bahagia dan terasa seperti telah melepaskan beban berat.

Saya sendiri punya pengalaman yang mirip-mirip. Ketika selesai menulis jelas ada perasaan bahagia bisa mencurahkan gagasan dan ide. Tapi tidak hanya itu, ketika tulisan kita ada yang membaca lebih bahagia lagi, ketika tulisan kita ada yang mengomentari akan lebih bahagia lagi. Lebih-lebih kalau tulisan kita dijadikan bahan diskusi, ada kepuasan lain yang muncul dalam hati kita, dst..dst..

Bisa jadi awal kebahagiaan muncul karena ada sirkulasi ide. Dalam level berikutnya ketika ide dan gagasan kita bermanfaat maka kebahagiaan muncul karena tulisan kita bisa membuat orang lain menjadi terinspirasi. Level kebahagiaan yang disebutkan terakhir sudah jelas memiliki kualitas yang jauh lebih dalam lagi.

Kalau dipaparkan lebih detil lagi, secara fitrah manusia ini sebenarnya adalah makhluk spiritual, makhluk yang suka membantu orang lain. Baik membantu dalam bentuk ide, materi atau tenaga. Coba saja kalau Anda berada dalam keadaan murung, sedih, pusing, bantulah orang lain sesuai dengan kemampuan yang kita miliki, maka kebingungan tadi akan berubah dengan kebahagiaan. Tidak percaya? Coba saja dulu, trust me it works (maaf pake jargon iklan).

Atau coba ketika Anda sedih, bingung, murung, kesal dll, tulislah semua kondisi negatif tadi apa adanya. Misalnya saja, "Hari ini saya sangat kesal kepada teman saya. Betapa tidak, dia berkali-kali membohongi saya dengan cara yang berbeda. Yang pertama dia berbohong bahwa saya mendapatkan penghargaan dari kantor, ternyata tidak, dan yang kedua dia mengatakan bahwa saya diberikan teguran. Lagi-lagi ternyata tidak. Saya benar-benar kesal, jengkel, marah."

Coba rasakan setelah mengungkapkan tulisan tadi apakah Anda masih merasa marah, jengkel? Lambat laun energi negatif tadi menghilang dan pindah ke kertas atau layar monitor komputer. Supaya energi tadi benar-benar hilang dari benak kita, secepatnya kertas yang berisi energi negatif tadi dibakar. Sambil membayangkan bahwa semua hal-hal negatif yang ada dalam diri kita yang sudah dipindahan ke kertas tadi juga dibakar sampai hilang. Atau kalau ditulis di layar monitor komputer, tulisan tadi diblok pake control A kemudian di delete dengan terlebih dahulu berniat untuk membersihkan energi negatif. Lumayan mudah kan membuang energi negatif dan menjadi bahagia dengan cara menulis? Selamat mencoba, sukses selalu. (ade asep syarifuddin)

*) Ade Asep Syarifuddin, GM Radar Pekalongan.
Share on Google Plus

About Manusia Pembelajar

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.

0 komentar :

Post a Comment