Penuh Apresiasi, Main Game Jadi Pilihan Anak Ketimbang Belajar

Oleh Ade Asep Syarifuddin

SEORANG anak usia 6 tahun tengah sibuk main game di android milik ibunya. Kadang tertawa sendiri, kadang bilang, "Aku Menang...." dan sikap semangat lainnya. Mengapa anak-anak begitu semangat bermain game ketimbang belajar. Bahkan bila disuruh belajar terlihat sangat malas dan penuh dengan keterpaksaan. Sementara main game, tidak disuruh pun akan langsung memainkan touch screen dengan mahirnya.

Kemajuan teknologi tersebut membuat khawatir berbagai pihak terutama orang tua dan guru. Tidak heran kalau rata-rata nilai mereka akan turun setelah mengenal game karena waktunya tercurah ke sana. Dan ujung-ujungnya teknologi tersebut disalahkan. Satu sisi kita tidak bisa berkelit dari teknologi mutakhir, sisi lain dampak negatifnya prestasi belajar anak turun bisa kita rasakan sendiri.

Namun jangan buru-buru kita menyalahkan teknologi. Teknologi itu sifatnya netral. Bisa berdampak baik juga bisa menjadi buruk tergantung cara menggunakannya. Pernahkah orang tua bermain game yang disukai anaknya? Pernahkah seorang guru bermain game yang disukai muridnya? Kalau belum, cobalah sesekali bermain, sudah tentu jangan sampai ketahuan siswanya. Kemudian amati apa yang menarik dari game-game tersebut.

Pengalaman saya, ketika bermain game angry bird misalnya sebagai salah satu contoh, ada sosok pahlawan yaitu burung dan sosok jahat yaitu pig. Burung bertugas untuk memusnahkan pig jahat sehingga dunia ini menjadi aman sentosa. Ketika anak bermain dan berhasil memusnahkan pig, ada apresiasi berupa pemberian bintang karena kemenangannya. Kemudian kalau ingin bermain di level berikutnya cukup mengklik arah panah ke kanan. Sementara kalau kalah, tidak ada cacian, apalagi makian. Hanya disuruh mengulang dengan tanda panah melingkar. Cukup mengklik dan akan bermain di level sebelumnya.

Intinya adalah, kalau bermain dan menang, maka akan diberikan apresiasi, diberikan bintang. Dan bila gagal, tidak ada cacian, kemarahan, hanya disuruh untuk mengulang kembali. Tidak ada beban dan rasa takut gagal. Kalau gagal ya... coba lagi saja... titik. Begitu menariknya game-game tersebut karena secara psikologis anak mendapatkan kebanggaan dan penghargaan yang tinggi. Orang yang merasa dirinya berharga, tidak akan merasa capek walaupun disuruh bekerja dalam waktu yang lama. Sebenarnya pencipta game tersebut membuat produknya sesuai dengan kebutuhan psikologis yang menggunakannya. Dia sangat pintar melihat pangsa pasarnya.

Sementara ketika melihat realitas yang sebenarnya, bagaimana sikap orang tua dan guru ketika siswanya mendapatkan prestasi yang membanggakan? Sudahkah semua orang tua dan guru memberikan apresiasi sehingga memberikan perasaan bangga kepada anak? Atau ketika anak berprestasi, orang tua dan guru hanya bersikap biasa-biasa saja karena itu sudah seharusnya?

Kemudian, bagaimana sikap orang tua dan guru ketika anak dan siswanya mendapatkan nilai jelek bahkan gagal? Apakah menyuruhnya untuk mencoba kembali dan diberikan semangat, atau malahan dimarahi. Nampaknya pilihan kedua yang masih sering terjadi. Akibatnya apa? Pekerjaan yang direspon dengan marah ketika gagal, sedikit sekali untuk diulangi kembali. Bisa jadi kalau kita mendengar suara halus mereka, akan mengatakan, "Buat apa saya melakukan sesuatu yang kalau dikerjakan dan gagal akan dimarahi."

Maukah orang tua dan guru mulai sekarang meniru cara game memperlakukan anak? Siapakah yang lebih humanis, game atau orang tua dan guru? Jawabannya ada pada diri pembaca masing-masing. Tapi ukuran sederhananya begini. Sesuatu kalau memang secara psikologi nyaman, maka akan diulang-ulang kembali. Sebaliknya bila secara psikologi menghancurkan perasaan, maka akan ditinggal jauh-jauh.

Semoga kita selalu belajar dari semua perubahan yang terjadi di sekitar kita. Tidak terlalu banyak menyalahkan orang lain, apalagi menyalahkan teknologi. Kalau teknologi pintar, maka orang tua dan guru harus lebih pintar dari teknologi tersebut. Kalau tidak, maka game akan menjadi guru dan orang tua anak-anak karena mereka lebih apresiatif terhadap psikologisnya. (*)

*) Penulis GM Harian Radar Pekalongan.
Share on Google Plus

About Manusia Pembelajar

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.

0 komentar :

Post a Comment