Gagal dalam Perencanaan = Merencanakan Kegagalan

Oleh Ade Asep Syarifuddin

SAYA termasuk orang yang memiliki cara hidup yang teratur. Kalau ada panduan dan daftar rencana kerja harian bisa dipastikan 95% akan bisa diselesaikan dengan baik. Sementara ketika hari itu tidak merencanakan apa yang akan dilakukan, bisa dipastikan akan terjebak ke dalam aktifitas se-ketemu-nya. Contoh sederhana, ketika masa-masa sekolah di SMP, SMA setiap hari jadwal pelajaran yang diberikan sangat jelas dari pagi sampai siang. Malam harinya pun ketika belajar adalah pelajaran yang akan diberikan esok hari. Guru-guru di SMP dan SMA pun disiplin jam berapa masuk dan jam berapa pulang. Berapa jam belajar di rumah. Semua berjalan secara teratur.

Menginjak bangku kuliah, muncul ketidakteraturan. Contohnya, dosen kadang masuk kadang juga tidak. Banyak tugas diskusi, membuat makalah dll. Bisa jadi hal itu terjadi karena jurusan yang diambil bukanlah jurusan eksak tapi jurusan ilmu-ilmu sosial. Kemandirian mahasiswa dalam belajar lebih menonjol, dosen tidak mesti bicara di depan kelas selama berjam-jam. Fungsinya sudah membimbing mahasiswa ketika ada persoalan yang tidak bisa dipecahkan. Tapi terus terang saat itu saya protes, kok kuliah sangat tidak teratur. Mengapa hal itu sampai terjadi, karena saya berharap kampus akan menerapkan pola belajar seperti di SMA. Dan itu tidak terjadi. Ada perubahan dalam cara merencanakan perkuliahan dan proses pembelajaran.

Kita sendiri yang harus memiliki rencana harian. Bagiamana kalau dosen tidak hadir, bagaimana kalau perkuliahan tidak tuntas.Sekarang saya baru menyadari bahwa sepenuhnya masa depan kita sangat bergantung kepada perencanaan kita sehari-hari. Apa daftar rencana harian kita, apa yang menjadi skala prioritas dan bagaimana cara mengimplementasikannya. Untuk rencana kerja harian, harus benar-benar ditulis A-Z. Kalau tidak maka akan ada pekerjaan yang tidak penting tapi tetap dilaksanakan lebih dahulu. Mengapa? Karena ada orang yang mengajak melakukan sesuatu dan kita tidak bisa menolak dan tidak memiliki alasan yang tepat. Coba kalau kita memiliki alasan yang tepat dengan membuat skedul, kita bisa minta maaf karena tidak bisa memenuhi ajakan teman kita tersebut. Kalau pun mau mengabulkan ajakan, maka harus ada janji minimal sehari sebelumnya.

Luangkan waktu sekitar 60 menit sebelum tidur. 30 menit pertama untuk mengevaluasi aktifitas hari itu apakah sudah sesuai dengan list perencanaan harian kita atau meleset jauh. Kemudian 30 menit kedua untuk merencanakan list aktifitas esok hari mulai bangun tidur sampai tidur lagi. Hidup ini bukan hanya untuk bekerja, bukan hanya untuk mencari uang. Hidup ini harus adil dalam berbagai aspek. Paling tidak ada aspek karir, keuangan, pengembangan diri, spiritualitas, olahraga dan kesehatan, hobby, keluarga, waktu luang dan rekreasi. Dari ke-7 tujuan tersebut, ada yang dilakukan harian, dan ada juga yang dilakukan 2 hari sekali, bahkan ada yang dilakukan seminggu sekali. Tidak masalah dilakukan berapa hari, namun yang penting adalah konsisten dalam melakukannya. Cara ini yang bisa mendatangkan hasil di masa mendatang. Namun kalau hanya dilakukan sekali dan setelah itu berhenti, tidak akan mendapatkan hasil apa-apa.

Kita tidak bisa asyik dengan pekerjaan kantor, lantas lupa keluarga, kita juga tidak bisa asyik dengan kegiatan sosial lantas lupa dengan spiritual dll. Semuanya harus diberi porsi yang proporsional, berkesinambungan dan sudah tentu dilakukan dengan penuh tanggung jawab. Memang kita tidak juga kaku dengan jadwal yang ada. Kalau tetangga mengundang untuk silaturahim atau acara lainnya, padahal di jam yang sama kita juga punya jadwal, kalau jadwal kita bisa digeser ya digeser saja. Tetangga adalah bagian dari hidup kita, sebagai makhluk sosial harus juga bersikap adil kepada orang di sekitar kita. Semuanya dapat porsi, semuanya kena, semuanya diberikan perhatian. Kalau ada satu pihak saja yang protes kepada kita, itu artinya jadwal perencanaan kita belum mencerminkan rasa keadilan untuk semua pihak.

Bagaimana kalau kita ingin membuat program pengembangan diri, kuliah lagi, atau belajar lagi. Lakukan saja walaupun hal ini akan menyita waktu. Tapi kan sangat jelas akan selesai pada waktunya. Kalau mengambil program pasca sarjana (S-2) saja waktunya jelas 2 tahun. Setelah itu bisa kembali melakukan aktifitas yang menjadi tanggung jawab kita. Atau kita mengambil kursus untuk meningkatkan karier kita, ambil saja, toh semua pihak pun akan memahami, mengapa aktifitas kita menjadi berkurang. Alasannya sangat jelas. Yang tidak boleh adalah, tiba-tiba mengurangi silaturahim dengan orang yang biasa bersama, tapi tanpa alasan yang jelas. (*)

*) Penulis GM Harian Radar Pekalongan
Share on Google Plus

About Manusia Pembelajar

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.

2 komentar :